Menu


Meng-'attack mode'-kan Jakarta Jadi Kiblat Baru Motorsport Dunia Lewat Balap Ramah Lingkungan

Meng-'attack mode'-kan Jakarta Jadi Kiblat Baru Motorsport Dunia Lewat Balap Ramah Lingkungan

Kredit Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww

Konten Jatim, Jakarta -

"Kalau untuk mobil biasa, kita sudah sulit mengejar negara lain. Sebab, seumpama balapan menuju Jakarta, kita masih di Menturo (Jombang, Jawa Timur). Padahal yang lain sudah masuk Menteng Jakarta."

Demikian perkataan yang pernah diucapkan Dahlan Iskan pada Januari 2013 seperti yang dikutip dari laman JPNN.

Pernyataan Dahlan itu merupakan gambaran betapa jauhnya ketertinggalan Indonesia dalam industri otomotif jika patokannya mesin konvensional.

Dahlan adalah Menteri BUMN selama kurun waktu 2011-2014. 

Pada Januari 2013, Dahlan sempat menguji coba jalan jauh Tucuxi, sebuah prototype mobil listrik karya seorang anak bangsa bernama Ricky Elson.

Uji coba tak berjalan mulus. Di Magetan, Jawa Timur, Dahlan mengalami kecelakan yang menyebabkan kerusakan pada mobil. 

Beruntung, Dahlan selamat dari maut. 

Seusai menjalani perawatan di Surabaya, Dahlan mengaku tidak kapok untuk mengembangkan mobil listrik. Sebab, ia menilai itu merupakan satu-satunya cara bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan jauh di industri otomotif.

Mobil listrik memang berbeda jauh dari mobil bermesin konvensional alias combustion engine

Tak ada sama sekali proses pembakaran internal dalam sistem kerja mobil listrik. Kinerja mobil benar-benar mengandalkan tenaga setrum.

Perbedaan ini pula yang membuat tak ada satupun produsen otomotif besar yang benar-benar unggul dalam pengembangan mobil listrik. Setidaknya saat Dahlan memberikan penilaiannya itu di tahun 2013.

Siapa yang dulu menyangka nilai valuasi perusahaan otomotif besar seperti Ford, Toyota, ataupun Volkswagen justru kini tertinggal dari Tesla yang umurnya baru seumur jagung.

Baca Juga: Sibuk Akuisisi Twitter, Elon Musk Gak Sadar Tesla Kehilangan Valuasi Rp1.800 Triliun!

Hal inilah yang menjadi perhatian Dahlan. Menurutnya, ketimbang mengejar ketertinggalan jauh dalam pengembangan mobil konvensional, lebih baik apabila Indonesia langsung fokus saja ke mobil listrik.

Kemunculan Ajang Formula E

Industri otomotif tentu saja tak bisa dilepaskan dari ajang motorsport. Tak cuma jadi ajang adu cepat, dunia motorsport juga jadi wadah produsen-produsen otomotif untuk melakukan riset.

Selama puluhan tahun, ajang balap Formula 1, Le Mans 24 Hours ataupun Grand Touring menjadi wadah produsen-produsen otomotif dalam mengembangkan mesin konvensional.

Eksisnya F1, Le Mans 24 Hours, maupun Grand Touring berbanding lurus dengan melegendanya nama-nama Nuerburgring, Monza, Indianapolis ataupun Silverstone sebagai lokasi balap paling prestisius. 

Status quo itu terus bertahan sampai akhirnya pada 2014, sebuah ajang motorsport baru muncul dengan nama Formula E.

Tak seperti ajang-ajang balap tradisional lain, Formula E melakukan pendekatan berbeda dalam memilih lokasi balapan. Ajang ini tidak dihelat di sirkuit-sirkuit permanen yang biasanya berlokasi jauh dari pusat kota. 

Tak ada nama Nuerburgring, Monza, Indianapolis, Silverstone ataupun nama-nama sirkuit legendaris lain di negara-negara kiblat otomotif tradisional.

Mengusung semangat energi terbarukan yang ramah lingkungan, ajang balap Formula E secara konsisten selalu menggelar balapan di sirkuit jalan raya di tengah kota.

Dikutip dari artikel berjudul "Formula E: The formula of the future" yang diulas di laman DW.com pada 23 Mei 2019, Formula E disebut-sebut jadi ajang motorsport yang mampu menarik minat kalangan yang sebelumnya sama sekali tak punya minat untuk menyaksikan balapan. 

Baca Juga: Formula E: The formula of the future

Ada beberapa hal yang mendasarinya. Tak cuma karena lokasi balapan yang digelar di pusat kota, pemakaian tenaga listrik membuat balapan tidak tenggelam dalam bunyi mesin yang berisik.

Juara dunia F1 2016 asal Jerman, Nico Rosberg, menilai Formula E tak cuma jadi ajang adu inovasi masa depan, tapi juga jadi sirkus balap yang ramah untuk keluarga.

"Pada awalnya banyak orang yang mengganggap balap mobil listrik itu aneh, terutama mereka yang sudah lama menggemari F1 dan menganggap diri mereka petrolhead tradisional, seperti ayah saya," ucap Rosberg dalam artikel yang dimuat di Motorsport pada 15 Mei 2022.

"Tapi seiring waktu dia menggangap balap mobil listrik itu keren. Sekarang dia bahkan sudah jadi penggemar berat Formula E," kata pria yang kini jadi salah satu investor Formula E itu dalam artikel berjudul "How Formula E helped change motorsport".

Sebelum datangnya pandemi, ajang Formula E mengalami pertumbuhan yang positif.

Dikutip dari laman DW.com, banyak kota-kota dunia yang antre untuk jadi lokasi balap Formula E, dari mulai Muenchen, Wina, Shanghai hingga Marrakech.

Dikutip dari Motorsport.com, promotor Formula E, ABB, mengklaim telah meraih pendapatan hingga lebih dari 200 juta euro (setara Rp 3,1 triliun) selama musim balap 2018-2019, yang menurut mereka terjadi peningkatan lebih dari 50 persen dibandingkan musim 2017-2018. 

Dari segi penonton, FE mengklaim bahwa musim 2018-2019 memiliki lebih dari 400.000 penonton. Adapun jumlah penonton televisi meningkat 24 persen dari tahun ke tahun, dengan pemirsa TV kumulatif 411 juta orang dalam seluruh balapan yang mencapai 13 seri. 

"Sangatlah positif untuk melihat peningkatan yang signifikan dalam jumlah penonton kami yang meningkat di seluruh seri, serta jumlah penggemar muda yang memilih untuk menonton dan mengikuti Kejuaraan Formula E ABB FIA," kata CEO FE Alejandro Agag. 

"Seperti mobil generasi berikutnya, kecepatan pertumbuhan semakin cepat dan lebih cepat. Kemajuan yang kami buat dalam waktu yang singkat sangat menyenangkan dan juga tercermin dalam rekor pendapatan, yang untuk kali pertama melebihi 200 juta euro," ujar dia.

Kesempatan Menjadikan Jakarta Jadi Kiblat Baru di Dunia Motorsport

Seperti halnya Indonesia dalam kancah industri otomotif mesin konvensional, Jakarta bukan apa-apa di kancah motorsport dunia jika patokannya ajang balap tradisional.

Selama puluhan tahun eksisnya Formula 1, Jakarta, ataupun Indonesia secara umum, tak pernah masuk dalam kalender balap jet darat itu. Jangan bandingkan dengan Monako, Melbourne, dan banyak nama kota-kota besar dunia lain yang sudah secara tradisional dianggap sebagai kiblat motorsport dunia.

Namun, seperti yang pernah diucapkan Dahlan soal motor listrik, ada baiknya memang Jakarta jangan lagi berupaya mengejar ketertinggalan tersebut.

Ketimbang mengejar obsesi menghelat F1, yang biayanya terlampau mahal dan masih mesin konvensional, lebih baik apabila Jakarta fokus saja menjadi kiblat motorsport baru dunia dari balap mobil energi masa depan yang lebih ramah lingkungan.

Sebab, mobil listrik adalah sebuah keniscayaan. Cepat atau lambat, mobil bermesin konvensional, yang terbukti ikut berperan menyebabkan kerusakan lingkungan, pasti akan musnah, tak terkecuali di ajang F1.

"Formula E ini adalah future dari motorsport. Ini green motorsports. Jadi, mungkin nanti dunia balapnya akan berubah semua menjadi seperti ini,"  kata kata Vice President of Infrastructure and General Affairs Formula E, PT Jakarta Propertindo (Jakpro), Irawan Sucahyono.

"Indonesia sebagai salah satu tuan rumah Formula E memang sangat beruntung karena future ini datang di Indonesia,"  ucap Irawan lewat keterangan tertulisnya, 11 Mei 2022.

Baca Juga: Formula 1 Could Be All-Electric By 2035

Meminjam istilah teknis balapan, ajang Formula E bisa jadi "attack mode" bagi Jakarta untuk melesat jadi kiblat baru motorsport dunia dalam balapan yang berfokus pada masa depan. Attack mode adalah suatu fitur pada mobil balap Formula E yang bisa dipakai pebalap untuk mendongkrak tenaga mobilnya agar bisa meng-overtaking pebalap lain.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan, perhelatan Jakarta e-Prix sudah sejalan dengan keinginan Presiden Joko Widodo terkait energi ramah lingkungan. 

"Peralihan dari kendaraan pribadi dengan transportasi umum dan mempromosikan penggunaan mobil listrik merupakan satu dari beberapa langkah yang akan ditempuh."

"Ini adalah upaya lintas generasi, dan Formula E akan membantu untuk merangkul partisipasi generasi muda dan para milenial," kata Anies melalui akun Instagram-nya, 16 Oktober 2021.

Diyakini Mampu Gerakkan Ekonomi Masyarakat

Pada 26 Januari-1 Februari 2022, lembaga riset Populi Center sempat melakukan survei di 60 kelurahan di Jakarta.

Dilakukannya survei bertujuan mengetahui persepsi masyarakat tentang dinamika pembangunan, dinamika politik, dan kinerja Pemprov DKI, salah satunya soal rencana perhelatan Formula E.

Dari hasil survei Populi Center, 50,1 persen responden yakin perhelatan Formula E dapat menggerakkan masyarakat Jakarta di tengah pandemi.

"Sebesar 50,1 persen (sangat yakin 6,8 persen, yakin 43,3 persen) menjawab yakin," ujar peneliti Populi Center, Rafif Pamenang Imawan, 9 Februari 2022.

Metode pengambilan data dalam survei ini dilakukan secara tatap muka melibatkan 600 responden yang dipilih melalui metode acak bertingkat. Margin error kurang lebih 4 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Baca Juga: Survei Tunjukkan Mayoritas Percaya Anies Tak Terlibat Korupsi Formula E, Alasannya...

Proses wawancara tatap muka dilakukan menggunakan aplikasi survei Populi Center dengan protokol kesehatan yang ketat. Survei menggunakan pendanaan internal.

Potensi Dongkrak Jumlah Wisman

Tahukah Anda jika jumlah angka wisatawan mancanegara (wisman) per tahun yang datang ke Singapura selalu lebih banyak dari Indonesia secara keseluruhan. Tentu saja jika kita mengukurnya dalam kondisi sebelum pandemi.

Hal ini tentu sedikit aneh. Pasalnya, Singapura adalah negara kecil yang dari segi luas wilayah maupun jumlah penduduknya tidak lebih besar dari DKI Jakarta.

Sementara itu, Indonesia adalah negara besar dengan puluhan ribu pulau yang wilayahnya terbentang jauh ribuan kilometer dari Sabang sampai Merauke.

Perbandingan data jumlah wisman per tahun Singapura dan Indonesia sebelum datangnya pandemi (2011-2019) bisa dilihat lewat tabel di bawah ini:

Tahun Indonesia  Singapura
2011 7,64 13,17
2012 8,04 14,50
2013 8,80 15,57
2014 9,43 15,10
2015 10,23 15,23
2016 11,51 16,40
2017 14,03 17,42
2018 15,81 18,51
2019 16,10 19,11

Keterangan: angka dalam juta

Sumber: Badan Pusat Statistik dan Statista

Tentunya ada banyak faktor yang menyebabkan kenapa angka kunjungan wisman ke Singapura sebelum pandemi selalu lebih tinggi dari Indonesia, dari mulai status Negeri Singa itu sebagai salah satu pusat bisnis di Asia Pasifik hingga seringnya perhelatan konser musik maupun olahraga di sana.

Berbicara soal perhelatan olahraga, salah satu hal yang patut disorot tentu saja perhelatan F1. Sebelum pandemi datang menghantam, F1 GP Singapura selalu rutin dihelat pada pertengahan September setiap tahunnya terhitung sejak 2008 hingga 2019.

Meski tak punya sirkuit permanen, Singapura mampu menghadirkan balapan spektakuler dengan "hanya" bermodalkan jalan raya Marina Bay.

Dikutip dari artikel yang tayang di Channel News Asia pada 7 Februari 2022, sejak debutnya pada 2008, balapan F1 di Singapura telah menghasilkan pemasukan mencapai lebih dari 1,5 miliar dolar Singapura atau setara dengan Rp16 triliun.

Kehadiran Lewis Hamilton dkk juga mampu menarik kunjungan 550.000 wisman. Dari jumlah tersebut tak sedikit yang berasal dari Indonesia.

Jika negeri tetangga mampu menarik minat orang Indonesia untuk datang, kenapa Indonesia tidak melakukan hal yang sama?

Pada 4 Juni mendatang, Jakarta akan menjadi tuan rumah ajang Formula E. Perhelatan Jakarta e-Prix akan berlangsung di sirkuit yang baru saja selesai dibangun di Ancol, Jakarta Utara.

Untuk seri Jakarta e-Prix, ada 60.000 lembar tiket yang disiapkan panitia. Tiket yang terbagi menjadi beberapa kelas mulai dijual pada 1 Mei lalu. Harga tiket dibanderol mulai dari Rp250 ribu hingga Rp10 juta belum termasuk pajak 15 persen.

Pada 19 Mei, panitia menyampaikan informasi terbaru seputar penjualan tiket.

Vice Managing Director Formula E Jakarta, Gunung Kartiko mengklaim, dari jumlah tiket yang sudah terjual, 50 persen berasal dari mancanegara.

Menurut Gunung, hanya 21 persen tiket yang dibeli oleh Warga Negara Indonesia (WNI).

Gunung berharap dengan dominasi penonton WNA itu mampu menyumbang devisa bagi pendapatan negara.

"Sehingga diharapkan itu membawa devisa tentunya masuk ke Indonesia," kata Gunung.

Untuk penonton mancanegara, rinciannya sebagai berikut:

- Jepang 9,4 persen

- Australia 9,1 persen

- Amerika Serikat 6,1 persen

- Filipina 6,1 persen

- India 6,1 persen

- Italia 6,1 persen

- Britania Raya 6,1 persen.

- Malaysia 3,0 persen

- Turki 3,0 persen

- Tunisia 3,0 persen

- Polandia 3,0 persen

- Norwegia 3,0 persen

- Argentina 3,0 persen

Khusus Jepang dan Australia, kedua negara ini sebenarnya cukup rutin menjadi lokasi ajang motorsport dunia, dari mulai F1, MotoGP hingga World Rally Championship (WRC). Namun, kedua negara ini belum pernah menghelat Formula E. Di sinilah keunggulan Jakarta yang harusnya bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mendongkrak wisman.

Indonesia boleh tertinggal dalam sejarah motorsport dunia untuk kendaraan konvensional. Tapi Indonesia bisa melangkah maju lebih dulu untuk menghadirkan ajang balap masa depan yang lebih ramah lingkungan dan belum terlalu dilirik di negara-negara kiblat lama motorsport. Karena, bagaimanapun juga, mobil listrik adalah masa depan dan tak ada yang bisa menghalangi datangnya era itu.

Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO